Rabu, 13 Agustus 2008

Invisible Hand dalam Bisnis Pornografi


By Azimah Soebagijo*



Beberapa hari terakhir isu pornografi kembali menghangat.

Pencetusnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pornografi kembali dibahas. Panja Pemerintah dan Panja DPR RI telah membuat draft bersama. Perubahan yang signifikan telah dibuat sesungguhnya dalam draft terakhir ini. Namun, sayangnya draft terakhir ini belum banyak yang tahu. Akibatnya, kembali dua kubu besar di masyarakat bersuara: yang Pro RUU dan Kontra RUU. Namun, apakah benar itu murni suara mereka?


Musuh Tak Terlihat dibisnis Pornografi

Saya sempat bertanya-tanya dalam benak saya, mengapa sulit sekali memberantas pornografi. Padahal, setumpuk data tentang kejahatan seksual di Indonesia akibat pornografi sudah dirilis berbagai institusi. Temuan korban dan pelaku pornografi yang makin hari makin muda usianya juga kerap hadir. Video-video porno dengan 100% conten lokal, mulai yang dibuat karena iseng, atas dasar cinta, komersial, hingga kriminal atau paksaan atau perkosaan jumlahnya sudah menembus angka 500 jenis (berdasarkan emuan JBDK tahun 2007). Jumah itu, 90%-nya dilakukan secara amatir oleh pelajar dan mahasiswa dengan menyalahgunakan teknologi HP dan internet. Kita juga merasakan, kian hari, Internet, HP, VCD/DVD porno bebas, tabloid, majalah, buku, dan koran-koran mengekspos pornografi terang-terangan.

Rasanya, fakta-fakta tersebut sudah terlampau banyak untuk dapat dijadikan motivasi bagi kita bergerak menggugat keberadaan pornografi. Namun, kenyataannya isu pornografi tetap timbul dan tenggelam. Pemaparan fakta seolah hanya menjadi sederet angka-angka statistik semata. Ekspos korban dan pelaku pornografi justru menjadi komoditi. Perlahan tapi pasti, masyarakat kita digiring menjadi semakin toleran dan permisif terhadap pornografi.

Mengapa ini bisa terjadi? Jawaban itu akhirnya saya temukan juga. Seorang aktivis mahasiswa asal Surabaya, berhasil membukakan mata saya. Di dalam isu pornografi menurutnya, tidak jelas musuhnya! Ya, tidak jelas musuhnya! Itu dia. Sesuatu yang tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya. Kita seringkali tidak mampu menguak siapa sebenarnya operator dibalik mesin bisnis bernama pornografi.

Padahal, melihat produknya, pornografi jelas merupakan industri serius. Mereka menggunakan teknologi mutakhir. Hanya mesin-mesin percetakan besar yang mampu mencetak ratusan ribu exemplar koran per hari, hanya teknologi canggih yang mampu menghasilkan gambar yang jernih, kualitas nomor satu yang hadir di situs-situs porno, VCD/DVD, dan tersebar di HP-HP yang canggih pula. Tapi mengapa industri pornografi ini seolah tak tersentuh?

Easy money dan Invisible hand

Industri pornografi jelas-jelas merupakan industry easy money. Mereka meraup untung besar dari tersebarnya video-video porno amatiran para pelajar ingusan melalui download internet berkali-kali. Merekalah yang meraup rupiah dari searching dengan menggunakan kata sex atau porn dari berbagai penjuru dunia. Merekalah yang semakin ‘gemuk’ dengan redistribusi (meminjam istilah Roy Suryo) dari materi seks di internet ke media-media lain seperti HP, tabloid, Majalah, Surat Kabar, Buku, dll. Dan merekalah yang semakin kaya dengan mengambil kesempatan di tengah lawless dalam pornografi ini, untuk melakukan promosi prostitusi melalui iklan-iklan baris, dan sexphone yang lebih kita kenal sebagai partyline.

Masalahnya, siapakah ‘mereka’ ini? Para pelaku industri pornografi di negara kita memang sosok invisible hand. Utamanya situs porno, bisa dibuat oleh siapa saja dan di mana saja. Meski keberadaannya terlacak, namun aparat penegak hukum tak mungkin menjerat mereka karena belum ada hukum yang mengatur dunia maya. Padahal, dengan redistribusi, media lain dapat dengan mudah menyebarkan materi pornografi tanpa perlu terlalu bersusah payah.

Bentuk inilah yang paling banyak dilakukan oleh tabloid-tabloid porno. Tanpa alamat redaksi, mereka bebas mencetak materi pornografi yang didapat dari internet. Kalau pun ada materi yang mereka upayakan sendiri, biasanya berupa promosi prostitusi berbentuk iklan dengan tarif Rp 8000 hingga Rp 30.000/MMK, atau foto-foto wanita panggilan yang diambil gratis. Jelas ini merupakan bisnis easy money.

Sebagai gambaran, iklan baris promosi prostitusi berkedok pijat kesehatan menuai antara Rp 42.560.000 -Rp 228.000.000 per halaman per hari! dan koran seperti ini ada yang membuat per hari hingga tiga halaman iklan baris promosi prostitusi. Artinya uang yang didapat hanya dari pemasangan iklan seperti ini bisa sampai Rp 684 juta/hari, jika setahun ada 365 hari, artinya mereka membukukan total keuntungan dalam setahun Rp 249, 660 milyar! Anehnya, praktek seperti ini tidak bisa ditindak, bahkan Koran semacam ini dengan oplah rata-rata 100.000 exemplar/hari cepat ludes dikonsumsi.

Belum lagi jika kita bicara bisnis partyline yang menggunakan saluran Telkom premium Rp 3000/menit, atau pulsa telpon yang didapat dari lamanya akses situs porno (Rp 3000/jam dan rata-rata pelajar akses internet antar 1-3 jam). Salah satu indikatornya, video porno YZ-ME menjadi rekor di negeri kita dengan 19,6 juta kali di download dari youtube per bulan di tahun 2006. Jika misalnya biaya download minimal Rp1000, maka industri pornografi telah meraup untung hingga Rp19,6 milyar di tahun 2006 saja! Akibatnya, negeri ini terpuruk karena potensinya banyak terbuang sia-sia untuk hal seperti ini.

Melalui kekuatan uang yang besar itulah, mereka bisa membuat banyak hal. Draf undang-undang yang dibuat bertele-tele pembahasannya dan memakan waktu bertahun-tahun, opini masyarakat terpecah menjadi pro dan kontra, pemerintah dibuat gamang dalam bersikap soal pornografi, kaum agamawan dipanas-panasi untuk bertindak ekstrim sehingga memancing sikap ekstrim dari kelompok yang lain, para politisi berhitung soal citra mereka dihadapan konstituen saat bersikap tentang isu ini, dll. Padahal pada saat yang sama, setiap detik yang berlalu, mereka terus menikmati keuntungan dari bisnis pornografi ini.

Penutup

Para operator-operator bisnis pornografi terus gentayangan di sekitar kita. Mereka melancarkan berbagai kegiatan dan upaya di tengah-tengah kita, melalui invisible hand-nya, untuk menjaga iklim bisnisnya tetap kondusif. Mereka tidak pernah berani menampilkan wujud mereka sendiri. Dengan kekuasaannya, mereka bisa saja meminjam mulut dan wajah anggota dewan, seniman, budayawan, birokrat, aparat penegak hukum, hingga agamawan!

The Untouchable begitulah kira-kira sosok dibelakang bisnis pornografi. Mereka terasa adanya, namun kita tak mampu melihat atau menjamahnya. Mereka menghalalkan segala cara untuk dapat terus meraup untung di atas derita, jerit tangis, tatapan kosong anak-anak muda tanpa masa depan.

Sudah waktunya kita bergerak untuk hentikan praktek-praktek busuk para invisible hand ini. Jangan biarkan mereka bersembunyi di balik baju kekuasaan. Sadarlah saudaraku, jernihkan nurani, mari kita nyatakan perang terhadap pornografi, kita cari dalang-dalang industri pornografi!

*Ketua Umum Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi (MTP)


1 komentar:

Luqman Setiawan mengatakan...

Dengan kata lain,industrialis pornografi cuma kumpulan manusia pecundang yang beraninya cuma pinjem tangan orang lain,sudah saatnya kia bersatu melawan tirani pornografi dan membasmi sampai ke cukong2nya di Indonesia

View blog reactions