Selasa, 26 Agustus 2008

Wirianingsih: 80 Persen Anak Usia 9-12 Tahun Pernah Mengakses Materi Pornografi


Ketua Umum Aliansi Selamatkan Anak Indonesia (ASA-Indonesia) Wirianingsih mengatakan anak-anak adalah investasi terbesar bagi kemajuan sebuah negara, wajah Indonesia kedepan ditentukan oleh kualitas anak-anak dimasa sekarang. Karena itu penting bagi segenap komponen bangsa untuk mempersiapkan generasi masa depan yang mampu menghadapi persaingan global, sebagai bagian dari elemen masyarakat sudah menjadi tanggung jawab kita, untuk membantu tugas pemerintah memberikan perlindungan hukum agar anak-anak terbebas dari berbagai tindak kekerasan dan segala bentuk pornografi dan pornoaksi. Berikut bincang-bincang eramuslim dengan Ketua Umum ASA-Indonesia Wirianingsih tentang pornografi dan pengaruhnya pada anak-anak.

Sejauh mana pornografi mengancam anak-anak kita?

Hal itu penting dilakukan karena pornografi dapat merusak anak-anak kita. Di mana Allah telah menciptakan 4 cairan dalam otak manusia, cairan ini akan bereaksi jika ada rangsangan seks dan ini lazimnya terjadi pada orang dewasa yang hendak berhubungan seks. Namun apabila ini terjadi pada anak-anak yang belum waktunya sudah mendapat rangsangan seperti ini, maka akan terjadi kerusakan karena bisa ketagihan, yang diperparah lagi mereka belum punya tempat penyalurannya. Akhirnya mereka melakukan penyimpangan perilaku misalnya memperkosa, berhubungan seks dengan hewan, serta berhubungan insest antara kakak dan adik.

Bagaimana dengan kondisi saat ini, sudah sejauh mana pengaruh pornografi meracuni anak-anak Indonesia?

Berdasarkan penelitian Yayasan Kita dan Buah Hati, 80 persen anak usia 9-12 tahun di kawasan Jabodetabek sudah pernah mengakses materi pornografi melalui internet, dan berdasarkan data BKKBN pada enam kota di Jawa Barat tahun 2002 sebanyak 39,65 persen remaja usia 15-24 tahun sudah pernah berhubungan seks sebelum menikah. Hal ini sangat berbahaya sekali bila dibiarkan, puncaknya akan terjadi seperti kasus Cianjur, Cilegon serta yang baru-baru ini terjadi pesta seks remaja di Kalimatan Timur. Sebenarnya pornografi sangat berbahaya bagi mereka yang belum menikah yakni remaja dan mahasiswa, tetapi lebih berbahaya lagi bagi anak-anak usia sekolah dasar.

Bagaimana upaya untuk melindungi anak-anak dari pengaruh pornografi?

Menurut saya perlu ada regulasi yang tegas, karenanya kita mendesak dan sedang terus memperjuangan agar DPR segera mengundangkan RUU Anti Pornografi Pornoaksi, melalui lembaga swadaya masyarakat pemerhati anak seperti Persaudaraan Muslimah (SALIMAH), Yayasan Kita dan Buah Hati, kita terus melakukan advokasi dilapangan serta melakukan penyadaran melalui pengajian kaum Ibu dan Majelis Ta'lim, betapa pentingnya mengawasi anak-anak, yang diterapkan berupa pendidikan untuk melakukan penjagaan mulai dari rumah sendiri.

Apakah cara itu cukup efektif untuk melindungin anak-anak dari ancaman pornografi?

Kita memang belum pernah melakukan penelitian secara akurat, seberapa besar prosentase perubahan itu, karena Aliansi ini kan masih baru, untuk konkritnya perlu dirumuskan lagi, tetapi untuk penyadaran melalui ibu-ibu sudah kami lakukan puluhan tahun yang lalu. Saya mengakui memang ini tantangan yang sangat berat, seperti membangun istana pasir, sudah kita bangun kemudian dengan mudah terhapus gelombang berupa industri pornografi, moral anak kita terkikis lagi, akan begitu terus, tetapi kita harus tetap peduli terhadap masalah ini.

Bagaimana pendapat ibu tentang kelompok yang berupaya membelokan RUU APP dan menganggap keberadaannya justru akan mengancam kebudayaan Indonesia?

Ya, itu whatever-lah... Makanya saya bersama anggota lainnya berusaha mendatangi mereka untuk berdialog, pasti ada jalan keluar dan hal ini sudah dicoba beberapa waktu lalu melalui pertemuan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Alhamdulillah sudah mulai terbuka, mudah-mudahan mereka sadar, bahkan tanpa malu-malu kami pun sudah mendatangi tokoh-tokoh yang berpengaruh di negeri ini untuk meminta dukungan. Mengenai pembelokan yang dilakukan sekelompok masyarakat, saya mengajak kelompok yang berfikiran seperti itu untuk sama-sama membaca dulu RUU-nya, menyelidiki mana substansi yang mengancam kebudayaan seperti yang dimaksudkan. Saya mengakui memang benar ada agenda di balik berbagai pendapat ini, namun kita harus bisa menyakinkan bahwa anggapan itu tidak benar.

Apa media yang paling berpengaruh atas penyebaran pornografi, khususnya pada anak-anak?

Menurut saya media yang paling besar dampaknya adalah televisi, karena daya jangkauannya yang luas dan mudah di akses semua golongan umur, dengan tayangan film yang beragam tanpa melihat jam tayang, bisa dibayangkan dampaknya kalau sekian ratus kabupaten kota seluruh Indonesia melihat tayangan-tayangan tersebut. Tetapi untuk kalangan menengah ke atas pengaruh televisi masuk urutan nomor tiga setelah internet dan telepon seluler (HP).

Apa langkah-langkah yang pernah ibu lakukan untuk mencegah maraknya penyebaran pornografi ditayangan televisi ataupun internet, apakah pemblokiran terhadap situs porno sudah cukup efektif?

Saya sudah beberapa kali menadatangi stasiun televisi, dan hanya mendapat jawaban yang tidak memuaskan, "Kalau enggak cocok ganti saja channel-nya, nantikan ratingnya turun terus sehingga tidak akan diproduksi lagi." Untuk persoalan yang satu ini kita harus bertarung dengan industri kapitalis yang ada di belakang Industri pornografi serta ideologi tertentu, itu pasti ada..

Kami juga sudah pernah meminta kepada pemerintah, Dewan Pers, dan PWI. Dewan Pers hanya membuktikan dengan keputusan yang ambigu.

Mengenai pemblokiran terhadap situs pornogarfi, saya mendukung langkah-langkah itu jika pemerintah bisa mempunyai itikad yang baik melindungi masyarakatnya, tetapi harus dilakukan dengan hati-hati, jangan karena ingin membunuh tikus-tikus dalam lumbung padi, tapi malah lumbungnya yang dibakar, artinya jangan sampai teknologi yang berguna untuk kepentingan kita, jadi tidak optimal karena ada yang merusakanya, harus hati-hati dan bijaksana.

Melihat perkembangan industri pornografi, anda optimis masalah ini bisa teratasi?

Saya kira untuk hilang secara total sih tidak, pornografi akan tetap ada seperti halnya kebaikan dan keburukan akan tetap ada sepanjang kehidupan manusia ada, namun semua agama pasti menghendaki kita untuk berbuat kebaikan. Dalam hal penyebaran pornografi yang harus dipikirkan bagaimana meminimalisir dampaknya terutama pada anak-anak melalui undang-undang, karena yang ada saat ini belum memberikan efek jera. Selain itu dari segi penegakan hukum, aparat kepolisian perlu melakukan tindakan yang lebih progresif untuk meningkatkan profesionalisme kinerja aparat dalam memberantas pornografi, perlu adanya anggaran tambahan untuk program ini, sehingga jangan sampai tugas polisi digantikan oleh kelompok masyarakat yang lebih cepat mengambil tindakan untuk mencegah penyebaran pornografi. (novel/ln)

Sumber :
www.eramuslim.com

Rabu, 13 Agustus 2008

Invisible Hand dalam Bisnis Pornografi


By Azimah Soebagijo*



Beberapa hari terakhir isu pornografi kembali menghangat.

Pencetusnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pornografi kembali dibahas. Panja Pemerintah dan Panja DPR RI telah membuat draft bersama. Perubahan yang signifikan telah dibuat sesungguhnya dalam draft terakhir ini. Namun, sayangnya draft terakhir ini belum banyak yang tahu. Akibatnya, kembali dua kubu besar di masyarakat bersuara: yang Pro RUU dan Kontra RUU. Namun, apakah benar itu murni suara mereka?


Musuh Tak Terlihat dibisnis Pornografi

Saya sempat bertanya-tanya dalam benak saya, mengapa sulit sekali memberantas pornografi. Padahal, setumpuk data tentang kejahatan seksual di Indonesia akibat pornografi sudah dirilis berbagai institusi. Temuan korban dan pelaku pornografi yang makin hari makin muda usianya juga kerap hadir. Video-video porno dengan 100% conten lokal, mulai yang dibuat karena iseng, atas dasar cinta, komersial, hingga kriminal atau paksaan atau perkosaan jumlahnya sudah menembus angka 500 jenis (berdasarkan emuan JBDK tahun 2007). Jumah itu, 90%-nya dilakukan secara amatir oleh pelajar dan mahasiswa dengan menyalahgunakan teknologi HP dan internet. Kita juga merasakan, kian hari, Internet, HP, VCD/DVD porno bebas, tabloid, majalah, buku, dan koran-koran mengekspos pornografi terang-terangan.

Rasanya, fakta-fakta tersebut sudah terlampau banyak untuk dapat dijadikan motivasi bagi kita bergerak menggugat keberadaan pornografi. Namun, kenyataannya isu pornografi tetap timbul dan tenggelam. Pemaparan fakta seolah hanya menjadi sederet angka-angka statistik semata. Ekspos korban dan pelaku pornografi justru menjadi komoditi. Perlahan tapi pasti, masyarakat kita digiring menjadi semakin toleran dan permisif terhadap pornografi.

Mengapa ini bisa terjadi? Jawaban itu akhirnya saya temukan juga. Seorang aktivis mahasiswa asal Surabaya, berhasil membukakan mata saya. Di dalam isu pornografi menurutnya, tidak jelas musuhnya! Ya, tidak jelas musuhnya! Itu dia. Sesuatu yang tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya. Kita seringkali tidak mampu menguak siapa sebenarnya operator dibalik mesin bisnis bernama pornografi.

Padahal, melihat produknya, pornografi jelas merupakan industri serius. Mereka menggunakan teknologi mutakhir. Hanya mesin-mesin percetakan besar yang mampu mencetak ratusan ribu exemplar koran per hari, hanya teknologi canggih yang mampu menghasilkan gambar yang jernih, kualitas nomor satu yang hadir di situs-situs porno, VCD/DVD, dan tersebar di HP-HP yang canggih pula. Tapi mengapa industri pornografi ini seolah tak tersentuh?

Easy money dan Invisible hand

Industri pornografi jelas-jelas merupakan industry easy money. Mereka meraup untung besar dari tersebarnya video-video porno amatiran para pelajar ingusan melalui download internet berkali-kali. Merekalah yang meraup rupiah dari searching dengan menggunakan kata sex atau porn dari berbagai penjuru dunia. Merekalah yang semakin ‘gemuk’ dengan redistribusi (meminjam istilah Roy Suryo) dari materi seks di internet ke media-media lain seperti HP, tabloid, Majalah, Surat Kabar, Buku, dll. Dan merekalah yang semakin kaya dengan mengambil kesempatan di tengah lawless dalam pornografi ini, untuk melakukan promosi prostitusi melalui iklan-iklan baris, dan sexphone yang lebih kita kenal sebagai partyline.

Masalahnya, siapakah ‘mereka’ ini? Para pelaku industri pornografi di negara kita memang sosok invisible hand. Utamanya situs porno, bisa dibuat oleh siapa saja dan di mana saja. Meski keberadaannya terlacak, namun aparat penegak hukum tak mungkin menjerat mereka karena belum ada hukum yang mengatur dunia maya. Padahal, dengan redistribusi, media lain dapat dengan mudah menyebarkan materi pornografi tanpa perlu terlalu bersusah payah.

Bentuk inilah yang paling banyak dilakukan oleh tabloid-tabloid porno. Tanpa alamat redaksi, mereka bebas mencetak materi pornografi yang didapat dari internet. Kalau pun ada materi yang mereka upayakan sendiri, biasanya berupa promosi prostitusi berbentuk iklan dengan tarif Rp 8000 hingga Rp 30.000/MMK, atau foto-foto wanita panggilan yang diambil gratis. Jelas ini merupakan bisnis easy money.

Sebagai gambaran, iklan baris promosi prostitusi berkedok pijat kesehatan menuai antara Rp 42.560.000 -Rp 228.000.000 per halaman per hari! dan koran seperti ini ada yang membuat per hari hingga tiga halaman iklan baris promosi prostitusi. Artinya uang yang didapat hanya dari pemasangan iklan seperti ini bisa sampai Rp 684 juta/hari, jika setahun ada 365 hari, artinya mereka membukukan total keuntungan dalam setahun Rp 249, 660 milyar! Anehnya, praktek seperti ini tidak bisa ditindak, bahkan Koran semacam ini dengan oplah rata-rata 100.000 exemplar/hari cepat ludes dikonsumsi.

Belum lagi jika kita bicara bisnis partyline yang menggunakan saluran Telkom premium Rp 3000/menit, atau pulsa telpon yang didapat dari lamanya akses situs porno (Rp 3000/jam dan rata-rata pelajar akses internet antar 1-3 jam). Salah satu indikatornya, video porno YZ-ME menjadi rekor di negeri kita dengan 19,6 juta kali di download dari youtube per bulan di tahun 2006. Jika misalnya biaya download minimal Rp1000, maka industri pornografi telah meraup untung hingga Rp19,6 milyar di tahun 2006 saja! Akibatnya, negeri ini terpuruk karena potensinya banyak terbuang sia-sia untuk hal seperti ini.

Melalui kekuatan uang yang besar itulah, mereka bisa membuat banyak hal. Draf undang-undang yang dibuat bertele-tele pembahasannya dan memakan waktu bertahun-tahun, opini masyarakat terpecah menjadi pro dan kontra, pemerintah dibuat gamang dalam bersikap soal pornografi, kaum agamawan dipanas-panasi untuk bertindak ekstrim sehingga memancing sikap ekstrim dari kelompok yang lain, para politisi berhitung soal citra mereka dihadapan konstituen saat bersikap tentang isu ini, dll. Padahal pada saat yang sama, setiap detik yang berlalu, mereka terus menikmati keuntungan dari bisnis pornografi ini.

Penutup

Para operator-operator bisnis pornografi terus gentayangan di sekitar kita. Mereka melancarkan berbagai kegiatan dan upaya di tengah-tengah kita, melalui invisible hand-nya, untuk menjaga iklim bisnisnya tetap kondusif. Mereka tidak pernah berani menampilkan wujud mereka sendiri. Dengan kekuasaannya, mereka bisa saja meminjam mulut dan wajah anggota dewan, seniman, budayawan, birokrat, aparat penegak hukum, hingga agamawan!

The Untouchable begitulah kira-kira sosok dibelakang bisnis pornografi. Mereka terasa adanya, namun kita tak mampu melihat atau menjamahnya. Mereka menghalalkan segala cara untuk dapat terus meraup untung di atas derita, jerit tangis, tatapan kosong anak-anak muda tanpa masa depan.

Sudah waktunya kita bergerak untuk hentikan praktek-praktek busuk para invisible hand ini. Jangan biarkan mereka bersembunyi di balik baju kekuasaan. Sadarlah saudaraku, jernihkan nurani, mari kita nyatakan perang terhadap pornografi, kita cari dalang-dalang industri pornografi!

*Ketua Umum Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi (MTP)


Kamis, 07 Agustus 2008

Akankah Regulasi Pornografi di NKRI Terwujud ?



By Luqman Setiawan*




Pornografi merupakan salah satu kontributor terbesar yang mewarnai dinamika perjalanan rezim reformasi di Indonesia.Di mulai sejak tahun 1999 bersamaan dengan terkuaknya kran liberalisme industri jurnalistik nasional melalui UU Pers, serta diiringi dengan semangat euphoria demokrasi,maka menggeliatlah industri ilegal yang telah lama dikebiri rezim otoritarian Soeharto ini memenuhi ruang publik nasional.

Mencermati kasus penetrasi industri pornografi di Indonesia,harus kita akui bersama sekurang-kurangnya ditemukan 3 anomali sosial dan politik dalam perspektif karakteristik masyarakat Indonesia.

Pertama, secara statistik,muslim merupakan mayoritas dalam populasi masyarakat Indonesia. Dengan komposisi didalamnya,mayoritas adalah muslim tradisional yang sangat menjunjung tinggi budaya edukasi berbasis patron-klien yang terlembagakan dalam sistem pesantren dengan kyai selaku pengendali semangat kesalihan,sedangkan sisanya muslim modern berbasis diperkotaan. Etika muslim sangat menentang keras praktek pornografi dalam keseluruhan konteksnya. Anehnya,di fakta di lapangan menunjukkan produk pornografi tumbuh subur dan diterima secara merata di semua lini demografis mulai dari perkotaan hingga ranah pedesaan.

Kedua,Secara ekonomi,daya beli masyarakat sesungguhnya belum sepenuhnya pulih dari krisis moneter yang menghantam seluruh sendi ekonomi era 1998-2000 dan 2000-2001.Yang mengejutkan,ditengah krisis daya beli bahan pokok yang menusuk mata hati kita bersama,ternyata industri pornografi mencapai panen puncaknya.Miliaran rupiah terbuang sia-sia masuk ke pundi-pundi indutrialis pornografi,satu hal yang sangat ironis mengingat pada saat yang sama negara terpaksa menggadaikan sebagian besar aset utamanya untuk mengamankan keseimbangan ekonomi rakyat.

Ketiga,logika negara Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat),yang tentunya dengan bahasa yang lebih lugas,negara menjamin sepenuhnya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dimana semua pihak sama alias sederajat di mata hukum yang berlaku.Ironisnya,dalam kasus-kasus pornografi di Indonesia,negara lebih banyak mengambil peran dan posisi sebagai "penonton yang manis" menyaksikan putra putri bangsa "bertumbangan" di hantam virus pornografi.Dengan dalih bahwa tidak cukup alat hukum yang dapat digunakan untuk menjerat jaringan pornografi,alih alih negara mencari posisi aman sebagai mediator diantara masyarakat yang merupakan korban dari ekses pornografi dengan kalangan industri pornografi ; satu sisi "mencoba mengeksplorasi" potensi ekonomi industri pornografi, sisi lain memanipulasi wacana di tengah masyarakat.

Diantara ketiga anomali diatas,anomali terakhir harus diakui merupakan penyimpangan yang harus segera dijernihkan agar permasalahan pornografi tidak terus berlarut-larut dan menjadi benang kusut perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri kita.Harus ada regulasi yang jelas dan rinci yang menjadi payung hukum yang melindungi eksistensi budaya dan moral masyarakat terhadap pornografi.Masalahnya, akankah regulasi pornografi di Indonesia dapat terwujud ? Mungkin ada diantara pengunjung sekalian yang dapat memberikan jawabannya ? []

*Penulis ;
Pengurus Bidang Pelatihan & Kaderisasi Ormas Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi