Kamis, 07 Agustus 2008

Akankah Regulasi Pornografi di NKRI Terwujud ?



By Luqman Setiawan*




Pornografi merupakan salah satu kontributor terbesar yang mewarnai dinamika perjalanan rezim reformasi di Indonesia.Di mulai sejak tahun 1999 bersamaan dengan terkuaknya kran liberalisme industri jurnalistik nasional melalui UU Pers, serta diiringi dengan semangat euphoria demokrasi,maka menggeliatlah industri ilegal yang telah lama dikebiri rezim otoritarian Soeharto ini memenuhi ruang publik nasional.

Mencermati kasus penetrasi industri pornografi di Indonesia,harus kita akui bersama sekurang-kurangnya ditemukan 3 anomali sosial dan politik dalam perspektif karakteristik masyarakat Indonesia.

Pertama, secara statistik,muslim merupakan mayoritas dalam populasi masyarakat Indonesia. Dengan komposisi didalamnya,mayoritas adalah muslim tradisional yang sangat menjunjung tinggi budaya edukasi berbasis patron-klien yang terlembagakan dalam sistem pesantren dengan kyai selaku pengendali semangat kesalihan,sedangkan sisanya muslim modern berbasis diperkotaan. Etika muslim sangat menentang keras praktek pornografi dalam keseluruhan konteksnya. Anehnya,di fakta di lapangan menunjukkan produk pornografi tumbuh subur dan diterima secara merata di semua lini demografis mulai dari perkotaan hingga ranah pedesaan.

Kedua,Secara ekonomi,daya beli masyarakat sesungguhnya belum sepenuhnya pulih dari krisis moneter yang menghantam seluruh sendi ekonomi era 1998-2000 dan 2000-2001.Yang mengejutkan,ditengah krisis daya beli bahan pokok yang menusuk mata hati kita bersama,ternyata industri pornografi mencapai panen puncaknya.Miliaran rupiah terbuang sia-sia masuk ke pundi-pundi indutrialis pornografi,satu hal yang sangat ironis mengingat pada saat yang sama negara terpaksa menggadaikan sebagian besar aset utamanya untuk mengamankan keseimbangan ekonomi rakyat.

Ketiga,logika negara Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat),yang tentunya dengan bahasa yang lebih lugas,negara menjamin sepenuhnya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dimana semua pihak sama alias sederajat di mata hukum yang berlaku.Ironisnya,dalam kasus-kasus pornografi di Indonesia,negara lebih banyak mengambil peran dan posisi sebagai "penonton yang manis" menyaksikan putra putri bangsa "bertumbangan" di hantam virus pornografi.Dengan dalih bahwa tidak cukup alat hukum yang dapat digunakan untuk menjerat jaringan pornografi,alih alih negara mencari posisi aman sebagai mediator diantara masyarakat yang merupakan korban dari ekses pornografi dengan kalangan industri pornografi ; satu sisi "mencoba mengeksplorasi" potensi ekonomi industri pornografi, sisi lain memanipulasi wacana di tengah masyarakat.

Diantara ketiga anomali diatas,anomali terakhir harus diakui merupakan penyimpangan yang harus segera dijernihkan agar permasalahan pornografi tidak terus berlarut-larut dan menjadi benang kusut perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri kita.Harus ada regulasi yang jelas dan rinci yang menjadi payung hukum yang melindungi eksistensi budaya dan moral masyarakat terhadap pornografi.Masalahnya, akankah regulasi pornografi di Indonesia dapat terwujud ? Mungkin ada diantara pengunjung sekalian yang dapat memberikan jawabannya ? []

*Penulis ;
Pengurus Bidang Pelatihan & Kaderisasi Ormas Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi

0 komentar: